Kamis, 14 Mei 2015

Mengapa Menantu Perempuan Sering Tidak Disukai Mertua Perempuan?

Beberapa waktu yang lalu saya berjumpa dengan seorang teman lama melalui FB, teman kuliah yang sudah kuanggap sebagai saudara, teman yang sering berbagi saat sama sama kehabisan uang saku. Temen sekamar, juga temen saat perjalanan pulang ke kampung halaman karena kebetulan kotanya selalu kulewati saat aku pulang. melihat foto fotonya di FB, saya merasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Entahlah saya jadi teringat saat dia datang pada sukuran pernikahanku, yang hanya berselisih tiga bulan, dari usia pernikahannya. Saat itu saya merasa wajahnya tidak bahagia, senyumnya seperti orang tertekan, bukan senyum ceria seorang pengantin baru. Tapi buru buru kutepis pikiran burukku, karena aku tahu suaminya adalah orang yang baik, aku juga mengenalnya karena kami dulu satu kampus. Tapi entahlah aku begitu mengenal temanku ini, disudut hati kecilku aku merasa ada yang tidak beres. lalu saat kami bertemu diFB ternyata dugaanku benar.
Mula mula kulihat status FBnya yang melankolis, saat aku kirim komen, dia lalu mengirim pesan Inbox, tentang perasaannya, tentang bagaimana tertekannya dia saat harus satu rumah dengan mertuanya, dan saat kutelpon, dia menangis sesunggukkan, dia bilang baru pertama kalinya dia bisa menceritakan semua ini pada orang lain, selama ini dia memendamnya sendiri, cerita pada orang tua tidak mungkin dia lakukan, kepada tetangga dia yakin bukan solusi yang dia dapat. Sementara temanku murni seorang Ibu Rumah tangga, jadi tidak punya teman sekantor yang bisa dia curhatin. Saat dia bercerita tidak sadar airmataku ikut menitik, aku sungguh mengerti dengan perasaannya. Menikah dengan anak laki laki kesayangan yang sangat menurut dengan orang tuanya, dan harus tinggal serumah dengan mertua yang katanya sangat pelit dengan pujian sebaliknya royal dengan celaan. Membuat dia harus sering menangis diam diam. Waktu itu aku hanya diam mendengarkan, setelah selesai aku bilang “  Aku tahu kamu orang baik Ndri dari dulu, dan sampai sekarang kamu tetap baik, aku salut kamu nggak bercerita sama orang tua, karena terkadang masalah rumah tangga kalau kita bercerita, orang tua akan ikut sakit, dan saat rumah tangga kita sudah baik baik saja, kadang luka orang tua kita masih belum sembuh” . Saat saya bilang begitu tangisnya makin kenceng ” seandainya nggak ada anak mungkin aku sudah hengkang dari sana”. Begitu katanya. hem …itulah hebatnya seorang Ibu, yang bisa menanggung pahitnya hidup demi anaknya. ” Kalau bukan aku, nggak bakalan ada yang tahan dengan mulut tajamnya Ibu” Aku mengiyakan, berusaha membesarkan hatinya ” kembali kubilang mangkanya Allah memilihkan jodoh suamimu denganmu, karena Allah tahu kapasitasmu , coba bayangkan kalau jodohnya adalah aku, waduw bisa perang dunia ketiga” hiburku, dia tertawa ngakak ditengah isak tangisnya. Aku lega setidaknya dia bisa tertawa. temenku ini memang orang yang sabar dan baik hati, anak tidak banyak omong seperti saya, saat kuliah dulupun sering dia mengalah banyak padaku, contohnya aku orang yang paling malas setrika, saat injured time mau berangkat kuliah biasanya aku baru kalang kabut mau  menyeterika, sementara dia sudah cemberut menungguiku dengan rapi, akhirnya untuk mengejar waktu aku disuruhnya mandi, sementara dia dengan sukarela menyeterika bajuku.he..he..he..jadi bisa dibayangkan baiknya temenku.
” Semua dimatanya salah, hal hal sepele diurusin semua, bahkan aku pulang kerumah orang tuakupun dipermasalahkan, pokoknya ribet banget, tetanggapun menganggap kami ini keluarga aneh” Hem ada unsur tetangga rupanya. ” semua kuncinya di suamimu sebenarnya” kataku. dia kepala rumah tangga. sudah sepantasnya dia bisa bersikap bijak,disatu sisi wanita itu adalah Ibunya, seseorang yang kita berkata “ssst…heh…aja dilarang” dan distu sisi lainnya ada istrinya. Kita tahu seorang laki laki ketika menikah tanggung jawabnya terhadap Ibunya tidak akan putus, apalagi kalau ibunya janda, berbeda dengan istri dimana saat menikah, tanggung jawabnya langsung beralih ke suaminya. ” suamimu harus bisa tegas, walaupun kalian tinggal serumah harus ada batas batas mana urusan yang Ibunya tidak berhak ikut campur, tapi nggak ada salahnya memberikan nasehat kalau kita minta, dan tentunya kita berharap nasehat yang tidak memihak” kataku. Menurut temanku itulah masalahnya , suaminya hanya bisa nggah nggih saja, sampai dia geregetan. lalu aku bilang mengapa tidak mengontrak saja, kalau memang kompromi itu susah ” pepatah orang kalau deket bau (maaf) tahi, tapi kalau jauh bau wangi. Dia bilang sudah meminta sama suaminya, masalahnya mereka tidak diijinkan kalau keluar dari rumah itu untuk mengontrak kecuali rumah sendiri. Hem….wajar, hampir semua orang tua berpikir begitu. Ngapain susah susah ngontrak kalau rumah sendiri banyak kamar kosong, mubazir, mending uangnya dikumpulkan biar rumah cepat kebeli. Masalahnya adalah menjadi mudzorot kalau dengan tinggal bersama justru memicu kebencian. Hem susah juga. lalu aku bilang “anakmu sudah besar, tidak inginkah dirimu kerja, maksudnya berkarya, cari kesibukan biar nggak setiap waktu bertatap muka ama mertua (penyelesaian Instan..he..he..he..). ya tapi dia bingung apa yang mesti dia kerjakan. Walah ternyata kupernya nggak ilang ilang. “coba bicarakan baik baik ma suami, keluarkan semua unek unekmu, kalian harus sehati dulu.”. Dia tiba tiba kembali tergugu,, katanya dia nggak mungkin bercerita semuanya perlakuan ibunya saat suaminya kerja, yang ada suaminya tambah pikiran , ujung ujungnya asmanya kumat, walah lengkap sudah penderitaanya. Lalu aku bilang jika semua kemungkinan itu nggak ada berdamailah dengan hati, jadi diri sendiri aja, kalau kita benar jangan takut mengungkapkannya, kalau perlu bicara dari hati ke hati sama Ibu mertua, yang jelas teteplah berbuat baik, bagaimanapun orang tua adalah orang tua, orang yang selalu harus kita hormati apapun keadaannya. kalaupun harus mengingatkan harus dengan cara yang baik.Waktu nanti yang akan berbicara, waktu pula yang akan menyadarkan Ibumu kalau dirimu adalah memang menantu yang baik, semua butuh proses.
Lalu aku teringat seorang temenku juga menikah dengan keluarga yang secara adat sangat berbeda, dua buah suku yang saling bertolak belakang, kasusnya hampir sama, bermasalah sama mertua perempuan. Bedanya temenku ini memang adatnya keras, bahkan menurutku anaknya cenderung jutek, mungkin memang gayanya begitu. Perseteruannya merembet ke kakak iparnya. Di FB setiap saat setiap waktu isinya adalah caci maki terhadap kakak iparnya. Aku pernah kirim mesage sama dia tidak etis membawa masalahnya keruang publik, bukan solusi yang didapak malah nambah masalah, orang justru akan menilai jelek kita.Tapi tidak mempan, kulihat statusnya masih sama sampai sekarang. Ujung ujungnya adalah masalah uang. hem capek deh….
Lalu atasanku pernah bercerita bagaimana dia pernah mengultimatum suaminya untuk menurunkan pajangan pajangan di rumah barunya yang dipasang Ibu mertua tanpa kompromi dengan mereka. Saat bangun tidur..jreng…atasanku terkejut saat dindingnya udah penuh dengan pajangan. Dia marah, lalu keluarlah ultimatum itu, padahal sang mertua belum pulang. Walah…menurutku ini terlalu ekstrim. Dia juga pernah bilang betapa kesalnya dia saat tahu diam diam suaminya sering memberi uang pada keluarganya tanpa memberitahunya. Menurutnya dia tidak keberatan suaminya memberi uang berapapun ke keluarganya kalau memang tujuan jelas, masalahnya kenapa mesti sembunyi sembunyi. Secara bercanda aku menanggapi, kalau begitu apa bedanya, memberitahu apa enggak, kalau memang dia nggak keberatan. Bukannya dia nggak dirugikan? Enak aja, setidaknya hargainya dong istrinya. Hem ada benarnya,.tapi kok jadi sangsi kalau memang dia nggak keberatan, mengapa suaminya harus sembunyi sembunyi. Hi..hi..hi..sepertinya atasanku tidak jujur.
Lalu aku ingat kakak iparku yang tinggal sama Ibuku dikampung, hem aku sering bercanda, Ibuku nggak adil, anaknya malah jarang dikasih ini itu, sama kakak iparku apa apa  malah  dikasih. Pas Ibuku sakitpun lebih senang dirawat kakak iparku daripada anak anaknya. he..he..he..payah ya anak anaknya.
Aku sendiri, bagaimana hubunganku ama mertua? aku pernah pada titik paling rendah, aku pernah membenci mertuaku, aku pernah mengalami konflik hebat yang melibatkan adek iparku yang kemudian merembet ke Ibu mertua. Aku pernah dianggap istri kurang ajar hanya karena suami sering bikin minum sendiri, aku pernah dipisuh pisuh mertua karena melihat suamiku mencuci baju, sementara aku  tidur sama anakku (mertua tidak tahu kalau kami habis pergi yang lumayan jauh, jadi aku kecapekan sekali). Aku pernah berbicara keras sama mertua tentang bagaimana kesepakatan kami dalam berkeluarga. Aku pernah nekad membawa pulang anaku ke rumah orang tuaku saat aku marah sama mertua karena ketajaman lidahnya. Disini mertuaku shock sekali tidak menyangka kenekatanku. Dan mulai berhati hati dengan kata katanya. tapi tetap aja seperti api dalam sekam, karena akar permasalahannya tidak dicabut. Orang tuaku nggak tahu, aku dalihnya anaku nggak ada yang momong karena si mbak pulang kampung.lalu aku mulai berpikir alangkah capeknya hidup penuh kekisruhan apalagi dengan orang tua. Aku ingat nasehat kakakku, hidup kita ini akan susah kalau Ridho orang tua nggak didapat. Apapun jangan pernah menyakiti orang tua. Bicara baik baik, ya kadang kala emosi kita masih suka tinggi apalagi kalau merasa kita benar, merasa kita teraniaya. lalu kita merasa berhak menhakimi orang tua. Lalu aku mulai menata hidupku kembali, karena perselisihan ini sungguh tidak membuatku bahagia. Aku mengajak duduk mertuaku, bicara baik baik apa keinginanku dan keinginan dia, meminta ridhonya, sekaligus meminta maaf kalau dulu pernah berbicara keras. ya Luka itu masih berbekas pastinya, itu yang kadang aku sesali, tapi sambil berlalunya waktu, aku berusaha menunjukkan komitmen, bahwa niatku baik, bahwa aku tidak hendak mengambil anak laki lakinya begitu saja. Bahwa aku ingin diperlakukan sama dengan anak kandungnya. hubungan dengan adek ipar juga membaik setelah dia menikah, dia mulai memahami rasanya punya mertua. He..he..he..dan sekarang aku bisa berkarya diluar dengan tenang karena anakku ada yang menjaganya, ya mertuaku, walaupun ada Si Mbak, tapi aku lebih merasa aman saat ada mertuaku ikut mengawasi.
Itulah mengapa aku bisa memberi masukan ke temanku, untuk bersabar, tapi juga tegas, menjadi diri sendiri, yang penting tanamkan pada diri kita untuk selalu menghormati orang tua apapun keadaannya. jangan pernah terprovokasi omongan tetangga. Jangan banyak mengeluh ke banyak orang, karena ujung ujungnya masalah kita bisa jadi bahan gunjingan. Paling juga komentarnya, sama aja sih menantu ama mertuanya. he..he..he… dan yang pasti kuncinya adalah pada suami kita bisa nggak dia bersikap selayaknya Imam bagi kita. Dan sebagai anak yang berbakti pada orang tua.
Sudah jamak kalau mertua perempuan itu memang cenderung rewel….sampai ada ungkapan kalau kita makan sambel ama ikan asin saking nikmatnya, mertua lewatpun nggak kelihatan..ha..ha..ha. Atau aku pernah bertanya ama tetanggaku nama jenis tanaman yang dia tanam didepan mertuaku , eh tetanggaku bilang ” ini namanya Lidah Mertua” Waaaks…!mentang mentang bentuknya runcing runcing. He..he..he…pelajaran yang kita petik, nanti kalau jadi mertua kita nih yang perempuan jangan pada rewel ya, inget nggak enaknya jadi menantu yang direwelin mertua…ha..ha..ha….(tapi lihat lihat menantunya juga sih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar